Aku kurang tahu, mana yang lebih tepat untuk mengekpresikan kebahagiaan. Tawa atau tangis? Yang terjadi, butiran bening keluar dari sudut mata karena terlalu bahagianya diri ini. 15 tahun memendam rindu bukanlah hal mudah untuk mempertahankan keutuhan hatiku.
Hari ini dia pulang. Sehari sebelum pernikahanku. Pastilah salah satu kerabat atau tetangga berhasil memberitahunya. Sejak tiga bulan lalu, aku titipkan kabar pernikahanku pada siapa saja yang katanya pernah bertemu dengannya.
Aku hanya bisa mematung ketika berdiri satu langkah di depannya. Hatiku canggung setelah sekian tahun tak bertemu. Tapi sungguh rindu itu masih ada. Dia sedikit agak kurus dari ingatanku. Keriput dan rambut putih melengkapi usianya. Seketika kenangan masa lalu seperti kaset film yang diputar ulang. Pun dengan kejadian sore itu. Ketika dia telan mentah-mentah kata-kata ibu. Ego lelakinya berkuasa, dia langkahkan kaki pergi dari rumah. Andai dia tahu, sejak sore itu, setiap malam ibu menangis menyesali perkatannya. Namun sayang, ego ibupun menjadi pemenang. Ibu tak mau mencari tahu kepergiannya. Waktu itu, aku masih gadis kecil usia tujuh tahun, tak paham banyak hal. Hanya menurut ketika ibu minta jangan tanya lagi tentangnya. Kupendam rindu sendiri tak aku bagi kecuali dengan-Nya.
Akhirnya pertanyaan pertama keluar dari mulutnya. Menghentikan slet film di kepalaku.
"Siapa nama laki-laki itu?"
"Damar." jawabku singkat.
"Kau sudah benar-benar yakin?" tanyanya lagi.
"Sangat yakin."
"Baiklah. Aku hanya bisa memberi restu dan doa. Semoga kau selalu bahagia." Kulihat matanya berembun. Hatikupun sudah tak karuan rasanya. Rindu, marah, dan kecewa berdesakan memenuhi dada.
"Aku ingin kau yang menikahkanku" pintaku dengan lirih. Akupun sudah bersujud dipangkuannya. Kudengar isakan dari sudut ruangan. Meski lirih, aku kenal milik siapa itu. Ibu menangis. Kurasakan tangannya bergetar ketika kupegang. Sedetik kemudian, tangan kanannya sudah beralih di kepalaku. Bergerak, mengelus lembut rambutku.
"Jika ibumu mengijinkanku" jawabnya dengan suara bergetar. Disusul tangis ibu yang meledak.
Aku menoleh pada ibu demi meminta persetujuannya.
"Dia bapakmu. Dia yang harus menikahkanmu."
Ruangan menjadi begitu sempit dengan tangis kami.
Mencari Restu
Lokasi:
DKI Jakarta, Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar