Rasanya selalu ingin protes kepada-Nya setiap melihat kemesraan keluarga-keluarga di luar sana. Anak-anak
yang lucu dan lincah, suami istri yang mesra yang saling mencintai.
Bukan sekali dua kali aku melihat pemandangan indah tersebut, sering
ketika harus tugas di luar dalam perjalanan, di tempat-tempat umum
bahkan dalam keluarga adik-adikku, selalu mampu menyayat hati ini yang
berbuntut pada rasa iri. Ya..., aku iri pada keharmonisan keluarga
mereka.
Sering aku
merenung, menelusuri jejak-jejak perjalanan hidupku. Aku tak sempat
melakukan hal-hal buruk. Waktuku habis dalam usaha berbuat baik pada
orangtua, adik-adik bahkan pada orang lain. Tak aku dekati zina yang
jelas-jelas Dia larang atau perbuatan-perbuatan yang menjauhkan
keberkahan. Tapi, kenapa Dia mengujiku sedemikian berat?
***
Sore ini rumah terlihat sepi, aku tak menemui istriku disetiap
sudutnya. Kemana dia? Apa dia lupa bahwa hari ini aku pulang? Segala
tanya tentang keberadaannya terus meraung di benak ketika mendapati meja
makan kosong tanpa ada yang tersaji. Ingin sekali segera melangkah
kerumah ibu, sudah lama aku tak mengecap masakannya yang selalu membuat
lidahku rindu. Namun, sebuah pesan singkat di HP mengurungkan langkahku.
"Mas, hari ini pulang ya! Kerumah ya, aku tunggu!". Aku langsung
merubah haluan menuju rumah Adit, adik iparku. Sempat terpikir, mungkin
Yani, istriku ada di sana dan mungkin ada kejutan menyambut
kepulanganku. Ahh....mustahil, selama ini tak pernah ada kejutan yang
dia siapakan untukku, buru-buru kuhapus angan-angan itu.
***
"Sayang, tolong buka pintunya!" pintaku kala mendapati rumah terkunci rapat.
"Masih ingat rumah?" sahutnya dari balik pintu.
"Tentu saja, masak sama rumah sendiri lupa. Aku dari rumah Adit, ingin menjemputmu jika kamu disana."
"Bohong! Paling kamu dari rumah ibu. Sekalipun sudah beristri, kamu tetap bergelar anak mami."
Sejenak aku menarik nafas, tak menyangka kepulanganku disambut dengan
kata-kata manis mengiris hati. Harus sampai kapan aku bersabar akan
kekerasan sikapnya. Apapun permintaannya selalu aku penuhi, tapi tak
sedikitpun ia hargai. 2 tahun pernikahan, tidak pernah sekalipun dia
menjalankan kewajibannya. Setiap hari, tak ada makanan yang tersaji,
bahkan untuk menyetrika bajupun harus aku lakukan sendiri.
"Malam ini kamu tidur di luar saja" lanjutnya ketika aku masih berusaha mengetuk pintu memberi penjelasan.
***
Kembali aku hirup aroma khas kamar pribadiku yang hampir 3 tahun tak
pernah aku huni. Akhirnya aku menempatinya lagi. Sejenak aku ambil nafas
panjang disela-sela membereskan barang-barang. Haruskah aku bahagia?
Setelah beban hati ini mereka tanggalkan. Atau aku harus sedih, karena
gelar baruku, duda tanpa anak. Sempat ada yang menetes dari sudut mata
ketika harus membaca ikrar perceraian. Antara rela dan tak rela, namun
jika terus dipertahankan, bukan hanya aku yang terluka tapi seluruh
keluarga besar, terlebih ibu dan bapak. Sampai detik menjelang putusan
pengadilan, tak terlihat sedikitpun etika Yani dan keluarga untuk
memperbaiki segalanya. Bagi mereka uang lebih penting daripada
mempertahankan ikatan suci ini.
"Perlu bantuan untuk berbenah mas?" tawaran Rina, adik bungsuku membuyarkan lamunanku.
"Kamu datang tepat waktu, Rin. Mas bingung harus mulai darimana, kalau
cewek kan biasanya lebih telaten" jawabku mengiyakan tawarannya.
"Serahkan semuanya pada Rina" balasnya seraya membongkar salah satu
kardus yang menggunung. "Sabar dan iklas kunci untuk menjalaninya, Mas.
Inshaa Allah akan diberikan yang lebih" tambahnya.
Aku hanya membalasnya dengan tatapan lekat dan belaian lembut di kepalanya.