“Sedang melamunkan apa? Hingga bisa mengembalikan senyum yang sudah
hilang sejak sebulan lalu dari wajahmu” Tanya Aline yang datang membawa
santap siangku.
Aline, wanita paruh baya yang masih terlihat
cantik karena keramahannya itu begitu tekun memperhatikan setiap detail
diriku. Ya…dengan menyandang gelar putra direktur, aku mendapatkan
fasilitas yang begitu mewah di rumah sakit ini, salah satunya seorang
perawat pribadi.
Sejak seminggu yang lalu aku harus kembali
menjadi penghuni ruang berdinding putih ini, setelah sebulan lalu
seorang dokter yang juga rekan dari papa menemukan sebongkah kanker yang
bertengger dihatiku. Aku masih belum menyetujui untuk transplantasi
hati, sekalipun papa akan dengan mudah mendapatkan pendonornya.
“Emmm…biar aku tebak, pasti itu perempuan” kembali suara Aline menerka-nerka.
“Kamu memang selalu tahu isi kepalaku, padahal baru sebulan kita
bersama” kutanggapi terkaannya dengan senyum yang mengiyakan “Apa kau
pernah jatuh cinta, Line?”
Mendengar pertanyaanku, dia justru
tertawa dengan lebarnya hingga aku bisa melihat deret giginya yang
begitu rapi dan putih. Aku ingin tau seperti apa jatuh cinta itu, apa
seperti yang aku rasakan bertahun-tahun ini?
Aline seperti
melihat sorot keingintahuanku. Dia tarik kursi mendekat ke
pembaringanku, matanya seolah berkata, oke aku siap mendengarkan
ceritamu. Seperti air yang mengalir, kuceritakan padanya tentang gadis
kecil berlesung pipi, namanya Bunga Melati.
Aku beda dengannya,
aku seorang Khatolik. Tapi entah kenapa, aku selalu senang mendengarkan
bacaan-bacaan sholat. Bahkan aku sudah menghapalnya, itu terjadi tanpa
sengaja, karena setiap sore aku selalu mengintip Melati di masjid. Aku
meledeknya dengan ketawa setiap dia melakukan kesalahan melafalkan
hafalannya.
Kebiasaan itu berakhir ketika masa tugas papa di Solo
juga terselesaikan. Ya, papa seorang dokter yang sering dipindah
tugaskan. Berpindah-pindah memang sudah jadi hal biasa untuk kami
sekeluarga, tapi tidak untuk kali ini. Aku begitu merasa berat, terlebih
aku tak sempat berpamitan pada Melati dan keluarganya yang hari itu
sedang keluar kota.
“15 tahun, dan kau tak pernah bercerita pada
siapapun?” tanya Aline dengan terkejut “Lalu kenapa kau juga tak
mendatanginya?” lanjut Aline makin penasaran.
“15 tahun, bukan
waktu yang singkat. Tempat itu sudah tak sama dengan ingatanku, tak ada
yang kenal dengan Melati dan keluarganya” jawabku sambil tertunduk lesu
“Kau pun tahu, papa seorang yang taat, beliau tak akan pernah
mengizinkan aku mencarinya jika hal itu berkaitan dengan perasaan ini”
lanjutku.
Aline menyentuh pundakku, sambil menepuk dia berkata “Yakinlah, Tuhan punya rencana indah untukmu.”
Aku tersenyum dan mengangguk, rasanya itu seperti mantra yang membangkitkan semangatku.
“Anak muda, berjanjilah padaku, kau akan mencarinya” bisik Aline di telingaku.
***
Brukkkk
Baru beberapa langkah meninggalkan halaman rumah sakit, rasa nyeri
seketika menyerang tubuhku yang kini semakin kurus. Badanku berkeringat
dan menggigil, pandangankupun mulai redup. Samar-samar aku masih bisa
melihat seorang wanita berkrudung mendekat, menanyakan keadaanku. Tapi,
aku terlalu lemas hingga tak sanggup menjawabnya. Beberapa detik
kemudian aku sudah tak sadarkan diri.
“Aku lihat dia muslim yang baik dan tulus” terang Aline ketika kutanyakan siapa yang membantuku kesini.
“Namanya, seharum wanginya. Bunga Melati!”
Telingaku menajam ketika Aline menyebut nama itu, jantungku berdegup
kencang seperti ingin melompat dari tempatnya. Otakku bergegas
mempertanyakannya “Bunga Melati. Jangan-jangan memang dia.”
Aline menengok, dia kaget, seperti telah aku ingatkan. “Astaga, maafkan aku. Aku tak sadar.”
Rasa penasaranku berbuah kekuatan, aku mampu bangkit dari tempat tidur. “Aku harus memastikannya!”
15 menit kemudian aku sudah sampai di gedung pertemuan berlantai 3
dengan sentuhan arsitek modern minimalis. Aline memberi tahu, Melati
mengatakan harus bergegas ke gedung yang terletak disebelah kanan rumah
sakit. Langkahku terhenti ketika terdengar suara yang tak asing
memanggil. Jonni, teman sekamarku ketika di Singapura ternyata ketua
panitia dari acara yang diikuti Melati. Sambil melepas rindu, aku
mendapat sedikit bocoran tentang acara itu dari dia.
Emm...Melati
seorang guru, gumanku dalam hati. Tak pernah terpikir, dia akan memilih
profesi itu. Masih terekam jelas dalam ingatan, Melati kecil adalah
anak yang usil dan tomboy. Aku tersenyum tipis, tak bisa membayangkan
bagaimana dia mengajar anak-anak dibawah umur.
“Itu dia yang berjilbab ungu” tunjuk Jonni pada seorang wanita yang sedang keluar dari ruangan rapat membuyarkan lamunanku.
Pandanganku beralih kepadanya, ku lihat garis-garis muka Melati kecil
masih terlihat meski samar. Hati ini kembali berdegup kencang, tapi kaki
ini begitu berani melangkah mendekatinya. Tak kuhiraukan panggilan
Jonni yang sedikit memaki karena kutinggalkan tanpa pamit.
“Apa kabarnya Mel?” tanyaku dengan suara bergetar ketika telah berada berberapa langkah dihadapannya.
“Maaf, bukankan Anda yang pingsan dipinggir jalan depan rumah sakit tadi?” jawab Melati sedikit bingung
“Kamu benar. Dan, apa kamu tak mengingat siapa aku?” balasku.
Melati menggeleng, dikerutkan dahinya sambil berfikir keras
mengingat-ingat “Siapa ya? Sunggu saya merasa baru tadi pagi melihat
Anda.”
“Namanya Fredy Wicaksono Mel” terang seorang laki-laki dari belakangku yang tak lain adalah Jonni.
Kembali aku lihat, Melati mengerutkan dahinya, berusaha lebih keras
mengingat. Sedikit kecewa hati ini, dia benar-benar lupa padaku.
Benarkah waktu satu tahun yang kami habiskan bersama tak membekas dalam
ingatannya? Sementara aku habiskan 15 tahun untuk menjaga semua kenangan
itu, menyimpannya rapat-rapat dan tak pernah membaginya pada siapapun.
Tiba-tiba nyali ini menciut. Salahkah? Sia-siakah? Aku tak pernah
berharap mendapati jalan cerita yang seperti ini jika bertemu dengannya.
Aku pikir akan mendapatkan senyuman atau bakahkan pelukan rindu dari
seseorang yang sudah begitu lama menghuni hatiku. Aku juga rela jika dia
harus memaki-makiku karena pergi tanpa pamit, sungguh aku akan rela dia
lakukan itu.
“Astaghfirullah...Fredy si pengintip itu” ledekmu ketika sudah mengingatku.
Wajahku bersemu merah mendengar julukan itu lagi, ya..dulu Melati
selalu meneriaki si pengintip ketika sudah merasa kesal dengan ledekanku
di balik jendela masjid. Akhirnya dia mengingatku juga. Rongga dada ini
sedikit terisi oleh udara yang beberapa menit tadi seakan hampa dan
suram.
Bila bisa jujur, aku ingin berlama-lama bicara dengannya.
Melepaskan segala rindu yang telah memenuhi hati, bercerita dan
mendengar kisahnya. Tapi aku harus menahan diri, Melati masih harus
melakukan serangkaian acara, aku sendiripun harus segera kembali kerumah
sakit, Aline pasti sudah menunggu dengan cemas. Kuberikan kartu namaku
dan kuminta no telponnya agar kami bisa saling menghubungi lagi. Jonni
memberitahuku, acara ini berlangsung selama sebulan jadi masih ada cukup
waktu untuk memperjelas perasaan ini.
--bersambung--
Ujung Cinta
Lokasi:
Jakarta,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar