Dugk
….
Aku
mendengar suara kepalan tangan dan tembok beradu. Membuat ciut hati hingga
membekukan air mataku yang sudah beranak sungai sejak setengah jam yang lalu. Tak
berapalama, kulihat sosoknya mendekat kepintu depan dengan wajah merah padam
menyimpan amarah. Tanpa kata, dia pergi.
Kini
…, tinggalah aku sendiri di rumah dengan segumpal ketakutan. Aku sendiri
bingung dengan keadaan yang ada, tiba-tiba begitu banyak pertanyaan yang
memenuhi isi kepala. Kenapa dia marah? Kenapa dia pergi tanpa kata? Kemana dia
pergi?
Sepuluh
menit berlalu, setengah jam terlewati, dia tak kunjung kembali. Makin cemas, itu
sudah pasti. Duduk tak tenang, tidurpun tak nyaman. Tepat satu jam. Kuraih HP
dan mengirimkan pesan. “Pulanglah!”, send.
Lima menit, sepuluh menit, menanti tanpa balasan. Kembali kuraih HP memecet
tombol angka, calling. Satu panggilan
tak dijawab, dua panggilan direject,
tiga panggilan … akhirnya kudengar suaranya dari seberang entah berantah, “tidurlah
dulu, pintu jangan dikunci, nanti aku pulang” tut … tut … tut, sambungan
terputus.
***
Sorot
mentari yang menyelinap masuk melalui celah-celah ventilasi, menggelitik
mataku, terasa hangat. Berlahan kubuka mata, dan kudapati dia masih tertidur
pulas di sisi kanan. Entah jam berapa dia kembali ke rumah. Pelan-pelan aku
keluar kamar, takut membuatnya terbangun. Jelas, masih aku ingat raut mukanya
yang membuat aku takut, namun aku lebih takut jika dia tak di rumah dalam
keadaan marah.
***
Aku
masih sibuk dengan pekerjaan di dapur saat dia datang membawa ice cream rasa coklat di tangan kanan dan
rasa stroberi di tangan kiri.
“Mau
yang rasa apa?” tanyanya dengan raut muka seperti tak terjadi apa-apa.
Sejenak
kupandangi wajahnya lekat-lekat, “coklat!”
Kuterima
ice cream itu saat dia sodorkan
tangan kananya.
“Apa
dia lupa ingatan?” Batinku bertanya selagi menikmati ice cream bersamanya. Kucuri-curi pandang, mencari jawaban lewat
sorot matanya. Nihil, semua terlihat baik-baik saja, bahkan ada seutas senyum
yang terukir.
“Semalam
kemana?” akhirnya kuberanikan bertanya demi mengikis rasa penasaran yang
bergelayut di dada.
“Cari
angin. Bosen denger kamu nangis mulu”
“Kenapa
ga ditanya, ada apa?”
“Males!
Emang kenapa semalam nangis lagi?”
“Namanya
juga wanita! Kadang kala, ketika ada yang mengusik hati namun tak mampu untuk
mengungkapkannya, wanita biasanya menangis.”
“O
…….”
“Tapi
bukan berarti cengeng ya …!” jelasku sedikit memonyongkan bibir, “itu semua
hanya untuk membuat lega, sedikit memberi udara pada rongga dada yang sesak”
tambahku.
“Terus,
sekarang udah lega hatimu?”
“Belum!”
jawabku sambil nyengir memamerkan deretan gigi yang tak rapi.
“Boleh
nangis, tapi jangan sering-sering ya sayang” nasehatnya sembari mencium mesra
keningku, “bukankah aku dan kamu sudah jadi kita, sudah jadi satu. Kamu bisa katakan
apa yang mengusik hatimu, jika tak bisa kan bisa ditulis, tapi jangan
panjang-panjang ya, males kalau harus baca cerpen” lanjutnya diiringi senyum
bibir onta dan kubalas dengan pelukan mesra sebagai tanda setuju.
0 komentar:
Posting Komentar