Lihatlah, ditengah perkembangan
teknologi yang kian maju, buku masih menjadi raja di dunia perilmuan. Majalah yang
mengecil, koran yang tersisihkan, tak lantas membuat buku ikut tersungkur, dia
tetap jadi primadona.
Ibarat seorang guru, buku adalah
guru yang selalu menjawab pertanyaan, guru yang tak pernah marah, guru yang
menghantarkan kita ke suatu tempat tanpa harus sampai disana.
Dalam postinganku yang
terdahulu, aku katakan buku adalah pahlawan pribadiku. Banyak hal yang aku
dapatkan dari lembar halamannya. Satu mimpikupun berawal dari buku, buku peta
dunia. Semoga Allah ijabah mimpi itu ^_^
Buku itu abadi. Kenapa demikian?
Akan kuceritakan sikap aroganku. Semasa sekolah, aku begitu sombong tak mau
untuk membaca “Habis Gelap Terbitlah Terang”, jangankan untuk membaca,
memindahkannya dari rak kaca di perpustakaan ke tanganku saja aku enggan
melakukannya. Kala itu aku marah. Buku itu menjadi sasaran kemarahanku. Kenapa Kartini
begitu dieluh-eluhkan? bahkan kelahirannya dijadikan peringatan. Padahal kalau
mau melihat lebih dalam, masih ada Cut Nyak Dien, Cut Muthia dan beberapa
pahlawan wanita lainnya yang lebih pantas mendapatkan kehormatan itu.
Bertahun-tahun aku hidup dalam
kesombongan, kini aku tahu kenapa Kartini istimewa, karena dia menulis, dia
menjadi abadi dalam bukunya. Sekarang, siapa yang bersedia meminjakan buku itu
padaku, sukur-sukur sich ada yang mau menghibahkannya, karena aku penasaran
dengan apa yang ditulis oleh Kartini.
Maka, jika kalian ingin mejadi
abadi, menulislah. Sehari satu halaman, setahun sudah 365 halaman yang kita
tulis. Itu sudah layak disebut buku. *Paham..., itu bukan hal mudah, aku
sendiri juga masih belajar* Tapi, kita bisa memulainya dengan menulis kata-kata
indah dari pengalaman-pengalaman kita dijalan, disekolah, dipasar, dimanapun,
boleh bermediakan diary, facebook, twitter dan sosmed lainnya. Selamat menulis...
Oya, aku mau minta satu hal dari
kalian. Tolong aamiin kan mimpiku untuk bisa memiliki perpustakaan. Terima kasih
0 komentar:
Posting Komentar