..........

RSS

Lapis Susu

Tahu suami doyan lapis, jadi kepengem bikin lapis sendiri. Browsing , praktek jadi dech lapis susunya.

Bahan: 
  • 2gelas belimbing terigu 
  • 2gelas belimbing air 
  • 2 sendok maizena 
  • 8sendok gula pasir (bisa lebih jika mau manis) 
  • 1 sachet skm putih 
  • 1 sachet skm coklat 
  • 1 sachet kecil santan instan 

Cara Membuat:
  1. Santan, air dan gula aduk jadi satu sampai gula larut. 
  2. Tambahkan terigu dan maizena sedikit-sedikit 
  3. Bagi adonan jadi 2. Satu adonan tambahkan skm putih satu lagi skm coklat 
  4. Kukus secara bergantian, masing-masing lapis 5menit. Terakhir kukus selama 30 menit
  5. Dinginkan, dan potong-potong

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bolu Kukus Pandan

Bikin yang simple-simple yukk! Meski simple tapi lebih hemat dan lebih kenyang. hehehe

Bahan: 
  • 2 telur, 
  • 8 sendok gula pasir, 
  • 12 sendok terigu, 
  • 1/2 sendok soda kue, 
  • 5 sendok mentega cair/minyak goreng, 
  • pasta pandan 

Cara Membuat: 
  1. Kocok telur dan gula pasir sampai putih. Saya pakai garpu, kira-kira 15 menit. 
  2. Masukan terigu sedikit-sedikit, aduk rata. Tambahkan soda kue.
  3. Masukan pasta panda, aduk rata. Terakhir tambahkan mentega/minyak goreng. 
  4. Masukan adonan ke cetakan yang sudah diolesi mentega. Kukus selama 25 menit.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sama Mama

Di suatu pagi yang cerah, berkumpulah beberapa saudara di rumah mewahku alias mepet sawah. Tak terkecuali duo paling energik, Dana dan Arun. Usia Dana memasuki tahun ke 4, sementara Arun telah 2 tahun lebih 6 bulan. Kami menyebutnya, double brantak dot com. Ada mereka, siap-siap rumah bagai kapal pecah. Berlarian keluar masuk adalah hobi mereka. Penuh kejutan, jahil dan usil.

Matahari makin meninggi, cacing-cacing di perut sudah berdemo meminta jatah. Kebetulan Mama telah siap dengan masakannya di ruang makan. Seluruhnya bersantap siang, kecuali duo lincah yang masih enggan beranjak dari permainannya.

Merasa terpanggil, setelah memasukan suapan terakhir. Aku menghampiri mereka.

"Teteh makan dulu ya!" seruku sambil menyerahkan sepiring nasi lengkap.

"Iya... " jawabnya dengan bibir sedikit monyong. Diterimanya piring tersebut.

Si kecil masih asyik dengan game di komputer. Aku menghampirinya dengan sepiring nasi juga.

"Dede makan ya. Sama lele, enak loch" bujukku sambil menyodorkan suapan.

"Enggak mau. Sama Mama aja."

Gubrakkk, ini siapa yang salah? Hanya bisa nyengir kuda, mati gaya. Mau jelasin kayaknya percuma. Terdengarlah gelak tawa dari seantero rumah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cakrawala Ali Pratama


23 Desember 2014, tepat pukul 23.30 kau menyapa kami dengan tangisan kencang. Rasa syukur menyeruak dalam dada, anugrah tak ternilai untuk kami. 9 bulan 3 hari kami merasakan keberadaan dan tendangan-tendangan kecilmu, kini bukan hanya itu, senyum dan tangismu kami lihat dan dengar. Kami beri kau nama, Cakrawala Ali Pratama.
Cakrawala=batasan, jangkauan,
Ali=orang yang terpuji,
Pratama=orang yang beruntung,
kami berharap semoga engkau menjangkau menjadi orang yang terpuji dan beruntung, aamiin.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Keadilan

Hari ini, kemana sang keadilan pergi? 3 orang janda, diusianya yang renta terpaksa terus bekerja keras. Fisik yang tak kuat lagi, pandangan yang mulai mengabur membuat mereka memilih pekerjaan ini. Pemetik tangkai cabe, dengan resiko menahan rasa panas dan bau pedas yang begitu menusuk hidung. 300 rupiah untuk 1kg cabe, upah yang mereka terima.
Tak sempat rasa iri hinggap di hati , ketika beberapa tetangga yang masih muda bahkan memiliki pekerjaan yang lebih baik menerima bantuan langsung. Mereka hanya bisa ikut senang melihat para penerima bantuan membelanjakannya tak sesuai tujuan.
"Rezeki sudah ada yang ngatur. Bersyukur hari ini bisa makan. Besok kerja lagi, buat beli beras lagi." Jawab mbah Inem kala ditanya tentang kondisinya.
Sesederhana itukah mereka memaknai hidup. Atau karena telah berusia lanjut, mereka mampu begitu bijak menjalani zaman yang semakin kejam. Terlihat kemiskinan bukanlah beban bagi mereka. Canda dan tawa masih menghiasi hari-hari disela memetik cabe. Kembali lagi, kemana perginya sang keadilan?

***

Sementara di sudut lain, beberapa wanita bekerja dengan nyaman. Dalam ruangan dingin dan berkursi empuk. Gaji mereka terbilang besar, tanpa merasa takut besok ada beras atau tidak, bisa makan atau tidak. Mereka bisa membeli apapun dengan mudah. Bahkan berpesta pora, jalan-jalan dan belanja dijadikan rutinitas.
Mereka para pelayan, yang diharapkan memberi pelayanan justru minta dilayani. Menutup mata terhadap kondisi rakyat miskin, yang terpenting diri dan keluarganya happy.
Sibuk memperkaya diri, lupa akan tugas yang diberi. Lagi lagi, kemana keadilan pergi?

***

Di sini, aku hanya bisa terpaku dan mengurut dada. Ketimpangan-ketimpangan semakin jelas di depan mata. Akupun bertanya, kemana perginya keadilan? Semoga ia masih berkenan tinggal di negeriku, Indonesia. Membantu mereka yang masih percaya dan jujur.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Salah Pilihan

Rasanya selalu ingin protes kepada-Nya setiap melihat kemesraan keluarga-keluarga di luar sana. Anak-anak yang lucu dan lincah, suami istri yang mesra yang saling mencintai. Bukan sekali dua kali aku melihat pemandangan indah tersebut, sering ketika harus tugas di luar dalam perjalanan, di tempat-tempat umum bahkan dalam keluarga adik-adikku, selalu mampu menyayat hati ini yang berbuntut pada rasa iri. Ya..., aku iri pada keharmonisan keluarga mereka.
Sering aku merenung, menelusuri jejak-jejak perjalanan hidupku. Aku tak sempat melakukan hal-hal buruk. Waktuku habis dalam usaha berbuat baik pada orangtua, adik-adik bahkan pada orang lain. Tak aku dekati zina yang jelas-jelas Dia larang atau perbuatan-perbuatan yang menjauhkan keberkahan. Tapi, kenapa Dia mengujiku sedemikian berat?

***

Sore ini rumah terlihat sepi, aku tak menemui istriku disetiap sudutnya. Kemana dia? Apa dia lupa bahwa hari ini aku pulang? Segala tanya tentang keberadaannya terus meraung di benak ketika mendapati meja makan kosong tanpa ada yang tersaji. Ingin sekali segera melangkah kerumah ibu, sudah lama aku tak mengecap masakannya yang selalu membuat lidahku rindu. Namun, sebuah pesan singkat di HP mengurungkan langkahku. "Mas, hari ini pulang ya! Kerumah ya, aku tunggu!". Aku langsung merubah haluan menuju rumah Adit, adik iparku. Sempat terpikir, mungkin Yani, istriku ada di sana dan mungkin ada kejutan menyambut kepulanganku. Ahh....mustahil, selama ini tak pernah ada kejutan yang dia siapakan untukku, buru-buru kuhapus angan-angan itu.

***

"Sayang, tolong buka pintunya!" pintaku kala mendapati rumah terkunci rapat.
"Masih ingat rumah?" sahutnya dari balik pintu.
"Tentu saja, masak sama rumah sendiri lupa. Aku dari rumah Adit, ingin menjemputmu jika kamu disana."
"Bohong! Paling kamu dari rumah ibu. Sekalipun sudah beristri, kamu tetap bergelar anak mami."
Sejenak aku menarik nafas, tak menyangka kepulanganku disambut dengan kata-kata manis mengiris hati. Harus sampai kapan aku bersabar akan kekerasan sikapnya. Apapun permintaannya selalu aku penuhi, tapi tak sedikitpun ia hargai. 2 tahun pernikahan, tidak pernah sekalipun dia menjalankan kewajibannya. Setiap hari, tak ada makanan yang tersaji, bahkan untuk menyetrika bajupun harus aku lakukan sendiri.
"Malam ini kamu tidur di luar saja" lanjutnya ketika aku masih berusaha mengetuk pintu memberi penjelasan.

***

Kembali aku hirup aroma khas kamar pribadiku yang hampir 3 tahun tak pernah aku huni. Akhirnya aku menempatinya lagi. Sejenak aku ambil nafas panjang disela-sela membereskan barang-barang. Haruskah aku bahagia? Setelah beban hati ini mereka tanggalkan. Atau aku harus sedih, karena gelar baruku, duda tanpa anak. Sempat ada yang menetes dari sudut mata ketika harus membaca ikrar perceraian. Antara rela dan tak rela, namun jika terus dipertahankan, bukan hanya aku yang terluka tapi seluruh keluarga besar, terlebih ibu dan bapak. Sampai detik menjelang putusan pengadilan, tak terlihat sedikitpun etika Yani dan keluarga untuk memperbaiki segalanya. Bagi mereka uang lebih penting daripada mempertahankan ikatan suci ini.
"Perlu bantuan untuk berbenah mas?" tawaran Rina, adik bungsuku membuyarkan lamunanku.
"Kamu datang tepat waktu, Rin. Mas bingung harus mulai darimana, kalau cewek kan biasanya lebih telaten" jawabku mengiyakan tawarannya.
"Serahkan semuanya pada Rina" balasnya seraya membongkar salah satu kardus yang menggunung. "Sabar dan iklas kunci untuk menjalaninya, Mas. Inshaa Allah akan diberikan yang lebih" tambahnya.
Aku hanya membalasnya dengan tatapan lekat dan belaian lembut di kepalanya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS